Pepi Fernando, sutradara film dokumenter yang diduga jadi otak teror bom buku dan rencana pengeboman gereja, ternyata sudah mengincar Istana Negara dan Mabes Polri. "Mereka (kelompok Pepi) ingin menyerang Istana atau Mabes Polri jika bom gereja di Serpong sukses. Alhamdulillah, rencana itu berhasil kita gagalkan," kata sumber Jawa Pos di lingkungan kepolisian kemarin (24/4).
Aparat Densus 88 Mabes Polri memang terus mengembangkan penyidikan terhadap kelompok Pepi Fernando ini. Di antaranya petugas melakukan penggeledahan di sejumlah tempat di sekitar Jakarta yang digunakan sebagai safe house dan penyimpanan logistik jaringan.
Salah satu lokasi yang terus digeledah adalah rumah mertua Pepi yang berlamat Jalan Seruni II No 14 Blok CE, RT 08/19 Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medan Satria, Bekasi Barat. Tim penyisir dari Gegana Mabes Polri menemukan bahan berbahaya milik kelompok Pepi.
Di antaranya satu granat nanas, satu buah campuran adonan bahan peledak diameter 3 cm. "Juga ditemukan casing bom model roket belum terisi bahan peledak namun siap luncur," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar kemarin (24/04).
Selain itu, bom model kaleng lima buah dan satu buah sudah siap dengan isi. Bahan bom yang sudah jadi dua buah, casing bom model kotak satu buah, solder, potongan pipa besi, dan timer dengan jam dinding. "Sekarang, bahan-bahan itu sedang diselidiki oleh petugas Laboratorium Forensik Polri," katanya.
Dari bahan yang ditemukan dan keterangan yang diperpleh selama pemeriksaan, Polri menduga kelompok Pepi tak hanya merencanakan serangan terhadap gereja Christ Catedral Sepong. "Masih didalami penyidik apa saja yang mereka rencanakan. Termasuk apakah masih ada bagian jaringannya yang belum tertangkap," katanya.
Secara terpisah sumber Jawa Pos menyebut, bom roket kelompok Pepi didesain untuk meluncur dengan jarak 1000 meter. "Mereka pernah melakukan ujicoba di Sukabumi tapi gagal," katanya. Dari pengakuan sementara Pepi, roket itu didesain untuk menyerang objek vital negara. Pepi Fernando adalah alumni Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001.
Selama kuliah, menurut temannya Ace Hasan, Pepi adalah pribadi yang gaul, selengekan bahkan cenderung urakan. Tidak ada sikap ekstrim dalam menjalankan kehidupan agamanya. Lantas bagaimana Pepi berubah?
Sumber Jawa Pos menjelaskan, Pepi mulai bersentuhan dengan ide-ide radikal saat pergi ke Aceh sebagai relawan tsunami Aceh 2004 sampai pertengahan 2005. "Dia mengenal kelompok relawan mujahidin Kompak yang membuka posko di Nagan Raya dan Meulabouh, Aceh," katanya.
Pulang dari sana, Pepi mulai mengenal pengajian-pengajian keislaman yang cenderung radikal. Di antaranya, kajian jihad oleh kelompok Darul Islam pimpinan Kang Jaja atau sering disebut NII ring Banten. Jaja sendiri sudah mati dalam baku tembak dengan aparat Polsek Leupeung, Aceh, Maret 2010 lalu. Walaupun aktif dalam pengajian kelompok ini, Pepi tidak tercatat sebagai anggota resmi. "Dia tidak berbaiat," kata sumber lain Jawa Pos dari kalangan eks kombatan yang dihubungi terpisah.
Penangkapan, penembakan, dan aksi Densus 88 selama beberapa tahun terakhir rupanya menginspirasi Pepi untuk bergerak sendiri. "Istilahnya jihad fardhiyah, jihad individual tanpa harus berkonsultasi dengan imam atau mas"ul (pemimpin)," katanya. Menurut penyidik muda ini, Pepi lantas menghubungi beberapa orang mantan alumni UIN yang juga punya kecenderungan sama. "Mereka lalu membuka bisnis di Aceh. Di antaranya jasa rental mobil yang melayani trayek Meulabouh-Banda Aceh," katanya.
Setelah dana siap, kelompok ini lantas bereksperimen dengan serangan bom buku. "Mereka terinspirasi dari naskah jihad Syaikh Faris bin Ahmad Alu Syuwail Az Zahroni yang membahas tentang igtiyalat atau operasi pembunuhan terbatas," jelasnya. Dari pemeriksaan sementara, dana kelompok ini mencapai Rp 100 juta. "Digunakan untuk membeli bahan-bahan karbit, serbuk mercon, dan alat-alat lain," tambahnya.
Mantan rekan Pepi saat bekerja di program infotainment menyatakan terkejut mengetahui keterlibatan Pepi yang disebut-sebut sebagai otak dalam rencana aksi terorisme di Tangerang. Menurut dia, pada 2006, Pepi keluar dari production house tempatnya bekerja dan bergelut dalam pembuatan film dokumenter. Selama menjadi senior reporter di program tayangan infotainment Otista diketahuinya bahwa Pepi bukan sosok yang sangat religius. "Namun teman-teman bercerita bahwa Pepi mulai mengalami perubahan drastis belakangan ini," ujar pria yang tidak mau disebut namanya itu.
Mantan teman sekantor itu membenarkan adanya perubahan tersebut, baik dari cara pandang agama maupun gaya berbahasa Pepi. Perubahan itu terjadi sejak dia pergi ke Aceh. "Berubah menjadi lebih agamis. Tapi, tidak menyangka menjadi ekstrem, apalagi menjadi teroris," ujarnya. Dia mengatakan kurang mengetahui tujuan kepergian Pepi ke Aceh. Namun, setelah pulang, Pepi sering berceramah keagamaan.
Dia juga menuturkan bahwa Pepi saat ini memiliki anak di kandungan yang berumur enam bulan dari buah cintanya dengan DC, yang dinikahi beberapa tahun lalu. DC adalah salah seorang staf divisi di Badan Narkotika Nasional (BNN). Pepi diketahui berkenalan dengan IF, yang disebut sebagai kamerawan Global TV saat bekerja membuat program dokumenter tersebut sekitar 2006.
Di bagian lain, keluarga Imam Firdaus (IF), kamerawan Global TV yang dikabarkan ditangkap petugas Densus 88 terkait dengan aksi teror masih shock. Hingga kini mereka belum mendapat informasi mengenai kondisi dan keberadaan IF saat ini. Menurut pengacara Ferry Juan, keluarga IF telah menemuinya untuk dimintai bantuan hukum terkait hal ini. Ada tiga orang dari keluarga yang datang. Mereka adalah ibunda IF, adik perempuannya, dan paman IF yang bernama Rasjum.
"Keluarga sedang mempersiapkan surat kuasa dan akan segera ditandatangani. Mereka hanya ingin tahu keberadaan IF, apakah benar di kantor polisi atau tidak," ujar Ferry Juan yang dihubungi kemarin. Dalam pertemuan itu dijelaskan bahwa keluarga ingin mengetahui keberadaan IF. Dari keterangan keluarga, IF dibawa sembilan petugas berpakaian preman sekitar pukul 22.30 WIB, pada Kamis 22 April 2011. "Keluarga bingung IF dibawa ke mana. Mereka perlu tahu kondisinya," ujarnya.
Menurutnya, langkah pertama untuk memuaskan hati keluarga adalah dengan mendatangi Mabes Polri. Hal itu akan dilakukan Sabtu malam, 23 April 2011, setelah surat kuasa diterima. "Bila benar dibawa Densus, kita akan menghormati hak yang berwenang. Patuh pada kewenangan dan aturan 7 x 24 jam pelaku dugaan teror tidak dapat ditemui. Tapi kenapa polisi juga sudah memberikan keterangan sebagai tersangka terhadap IF. Ini yang membingungkan,"ujarnya lagi.
Hingga kini pihak Global TV juga belum bisa memberi kepastian untuk bantuan hukum kepada IF. "Belum tahu, karena kita belum bisa pastikan. Karena akan ada banyak kemungkinan terjadi. Kita menyerahkan ini pada kepolisian. Kita sangat tunduk pada hukum yang berlaku,"ujar News Director Global TV, Arya Mahendra Sinulingga.
Di bagian lain, penyidik Densus 88 Polda Jawa Barat kemarin menggeledah rumah di Jalan Suratno No. 11 RT 01/01 Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, Jawa Barat. Garis polisi dipasang di sisi kiri dan kanan jalan, sehingga area rumah pun tertutup bagi warga.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, rumah tersebut milik almarhum Akmaludin dan istrinya, Siti Juhariah. Siti Juhariah tinggal di rumah tersebut bersama 3 anaknya, yaitu Arif Budiman alias Dede, Reza, dan Agung. Arif tinggal bersama istri dan 2 anak mereka. Mereka sehari-hari hidup dengan berjualan voucher pulsa di depan rumah. Saat ini Siti Juhariah, Arif, dan keluarganya dibawa polisi.
Data yang diperoleh Radar di lokasi, selain Dede, tim Densus 88 Mabes Polri juga telah menahan Agung Bronis adik kandung Dede yang merupakan teman dekat Moh Syarif pelaku bom bunuh diri di Mapolres Cirebon Kota. Guna penyelidikan lebih lanjut, tim Densus 88 juga membawa serta istri, ibu kandung dan kedua anak Arif Budiman alias Dede.
Pemeriksaan dan penggeledahan di rumah tersebut berlangsung sekitar pukul 10.30 dan berakhir sekitar pukul 15.15. Proses jalannya penggeledahan tersebut dijaga ketat puluhan petugas Dalmas dari Polres Cirebon Kota dan Sat Brimob Detasemen C Polda Jawa Barat dengan membawa senjata lengkap yang siap menembak. "Peran kami disini hanyalah membantu tim Densus 88 selama penggrebekan dan penggeledahan. Untuk keterangan pers kami tidak punya wewenang karena kasus ini ditangani langsung oleh Mabes Polri dan Polda Jawa Barat," jelas Kapolres Cirebon Kota AKBP Asep Edi Suheri. (rdl/mos/jpnn/iro)
Jejak Sutradara Teror Bom
1. Pepi Fernando lahir di Sukabumi, 10 Desember 1979.
2. Kuliah di Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta, lulus pada 2001.
3. Menjadi relawan tsunami di Aceh pada 2004.
4. Berkenalan dengan kelompok mujahidin Kompak yang membuka posko relawan di Nagan Raya dan Meulaboh.
5. Di Jakarta "mengaji" dengan ustad jaringan Darul Islam Banten pimpinan Kang Jaja, yang tewas setelah ditembak polisi di Aceh pada 2010.
6. Merekrut dan mengembangkan jaringan sendiri. Belajar membuat bom dari kopi manual dan hasil download internet.
7. Di antara 19 anggota yang ditangkap, sepuluh orang mengaku tidak tahu-menahu. Mereka hanya karyawan dan rekan kerja Pepi yang punya bisnis jasa percetakan, pembuatan film dokumenter, dan las karbit.
8. Bereksperimen dengan bom buku, lalu bom pipa gas gereja di Serpong. Merencanakan bom roket dengan sasaran istana dan Mabes Polri.
No comments:
Post a Comment